Laproan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, volatilitas nilai tukar rupiah saat ini cukup tinggi.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih mendekati Rp 15.000 per dolar AS.
“Dengan ini, transaksi LCS atau Local Currency Settlement (kerja sama penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal) mendapat lebih banyak perhatian,” ujar dia melalui risetnya, Senin (11/7/2022).
Nico menjelaskan, LCS ini merupakan salah satu kebijakan bank sentral Indonesia dalam pendalaman pasar keuangan, melalui penyelesaian transaksi bilateral yang dilakukan dengan mata uang tujuan negara untuk tujuan stabilisasi nilai tukar rupiah.
“Ini kami lihat sebagai momentum akselerasi LCS di tengah kondisi normalisasi suku bunga secara global yang cukup agresif di sejumlah negara, di mana mengakibatkan instabilitas nilai tukar rupiah,” katanya.
Baca juga: Penerapan LCS RI-Tiongkok Dinilai Bisa Dorong Transaksi Kedua Negara
Sebelumnya, transaksi LCS memang sudah mulai berjalan sejak 2018 dengan perjanjian kerja sama perdagangan dan investasi dengan Thailand dan Malaysia.
Lalu, kerja sama tersebut berkembang dengan Jepang dan China, tapi mengulik efektivitas transaksi LCS, terlihat kenaikan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Baca juga: Dorong Perluasan Kerjasama LCS, Pengusaha Minta Bank Indonesia Gandeng Arab Saudi hingga Rusia
“Bank Indonesia memantau perkembangan LCS cukup baik, di mana transaksinya meningkat 217 persen menjadi 2,53 miliar dolar AS pada 2021 dari sebelumnya 797 juta dolar AS. Pada empat bulan pertama pada 2022 pun, transaksinya sudah mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS,” tutur Nico.
Sementara ditinjau dari pelaku pasar yang menggunakan LCS juga meningkat pesat, di mana kurang lebihnya 500 pelaku pasar dalam dua tahun terakhir, dan menjadi 1.500 per April 2022 dengan rincian lebih dari 450 berasal dari Jawa Barat.
Hal ini menunjukkan bahwa minat terhadap LCS cukup besar dan penggunaan dolar AS terus ditinggalkan, meskipun masih mendominasi yang tercermin dari pelemahan rupiah di tengah gejolak ekonomi.
Baca juga: Dampak LCS, Transaksi Perdagangan RI-Jepang Naik 10 Kali Lipat, Ini Kata Apindo
Penggunaan mata uang dolar AS mencapai 80 persen hingga 90 persen sebelum adanya transaksi LCS pada aktivitas ekspor impor.
Padahal aktivitas ekspor Indonesia dengan AS hanya 10 persen dari total ekspor nasional dan 5 persen untuk impor, sehingga cukup signifikan peredarannya untuk aktivitas yang cenderung rendah.
Di sisi lain, menanggapi perkembangan penyelesaian transaksi dengan LCS yang baik, di mana mencerminkan minat yang cukup besar, perlu terus ditingkatkan minatnya dengan sosialiasi.
“Sebab, yang diperlukan penyebaran awareness yang kuat, terutama di kalangan pelaku industri agar pemanfaatan LCS menjadi lebih masif,” pungkas Nico.
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.