Sempat Mengira Aida Gizi Buruk karena Bobot Tak Ideal

Rivena Nidya Windasari dan Perjuangan Menyelamatkan Anak dari Dextrocardia

Kelainan posisi jantung yang dialami sang putri diketahui justru ketika diperiksakan ke dokter akibat pilek. Kini Aida tumbuh normal dan Rivena mengabadikan pengalamannya dalam sebuah buku.

ILHAM WANCOKO, Jakarta

PICING mata dari ibu-ibu di posyandu membuat Rivena Nidya Windasari merasa tidak nyaman. Pemicunya, hasil timbangan sang anak, Huwaida Elmira Ramadhani, yang menunjukkan bobot hanya 5,3 kilogram.

Berat badan itu hampir tidak naik jika dibandingkan dengan penimbangan bulan sebelumnya pada November 2018.

”Jauh di bawah berat badan ideal bayi usia 9 bulan yang antara 6,6 kg hingga 10,4 kg,” kata Rivena tentang kejadian pada akhir 2018 tersebut kepada Jawa Pos.

Rivena menduga, ibu-ibu di posyandu menganggap Aida –panggilan anaknya– mengalami gizi buruk. ”Seakan-akan saya ini dianggap tidak becus merawat anak,” ujar ibu yang tinggal di Jogjakarta tersebut.

Padahal, Rivena sudah berupaya keras meningkatkan berat badan anak keduanya tersebut. Di antaranya, menambah asupan dengan makanan bayi organik serta memberinya minyak zaitun dan mentega tawar. Namun, semua belum membuahkan hasil maksimal. Rata-rata kenaikan berat badan Aida hanya 1 ons setiap bulan.

Pernah suatu kali, seorang tetangga melihat anaknya dan bertanya usianya berapa. ”Sembilan bulan,” jawab Rivena. Namun, tetangga itu malah merespons kok seperti bayi usia 3 bulan. Pisau tertancap di hati Rivena saat mendengarnya. Sakit luar biasa.

Melihat tumbuh kembang Aida yang belum normal, Rivena pun berinisiatif memeriksakan anaknya ke puskesmas. Saat itu langsung dilakukan pemeriksaan gizi disertai wawancara untuk melihat apa saja makanan yang diberikan. Sudah representatif untuk tumbuh kembang bayi atau tidak. ”Ya, hasilnya seharusnya berat Aida normal. Apalagi, dulu waktu lahiran, berat dan tingginya normal,” tuturnya.

Karena asupan gizi dinilai tidak menjadi masalah, akhirnya puskesmas meminta Rivena berkonsultasi dengan bagian psikologi. ”Di bagian psikologi ini saya dikuatkan, jangan minder. Sebab, kadang anak yang usia belum setahun itu masih kurang. Tapi, begitu setahun, pertumbuhan cepat sekali,” ungkap perempuan 32 tahun tersebut.

Momen diketahuinya bahwa Aida anak yang ”istimewa” terjadi saat Rivena dan suaminya, Akhmad Farizal, bersama anak pertama mereka, Baihaqi Ramadhan Al Kaizan, mudik ke Wonosobo, Jawa Tengah. Di daerah berhawa dingin itu, Aida pilek. ”Kami periksakan ke dokter anak. Tapi, dokternya malah fokus ke tumbuh kembangnya,” ujarnya.

Dokter Wuri, demikian panggilan sang dokter anak, lantas memeriksa kondisi Aida. Saat Aida menangis, tampak mulutnya membiru. Kuku-kukunya juga kadang biru. Semula Rivena dan Farizal menduga kondisi itu semata-mata terjadi karena Aida kedinginan. Namun, dokter Wuri menduga ada masalah di jantung si upik. Bahkan, dokter Wuri menyebut tidak mendengar detak jantung Aida.

Dextrocardia, kelainan yang kelak diketahui dialami Aida, memang merupakan kelainan posisi jantung. Biasanya jantung berada di kiri, tetapi dalam kasus dextrocardia terletak di kanan. ”Karena itu, dokter tidak mendengar detak jantung Aida,” katanya.

Padahal, keluarga Rivena dan suami tidak memiliki riwayat sakit jantung. Namun, dokter Wuri menyebut kelainan jantung ini bawaan lahir. Bukan soal keturunan atau gen. Dokter Wuri pun menyarankan agar Aida diperiksa dokter spesialis jantung anak. Namun, di kota sekecil Wonosobo, dokter spesialis sejenis itu tidak ada. Hanya ada dokter jantung untuk dewasa. Dokter spesialis yang dicari itu hanya ada di Jogjakarta. Itu pun pada 2018 hanya ada tiga orang. ”Karena ingin segera mengetahui kondisi anak, saya tetap ke dokter jantung dewasa,” tegasnya.

Begitu ke dokter jantung dewasa di Wonosobo, antrean tidak terkira. Dalam tiga hari berturut-turut mengantre, mereka selalu saja kehabisan kuota. Akhirnya, Rivena memutuskan untuk memeriksakan sang buah hati di Jogjakarta. Yang memeriksa adalah dokter Yusuf. ”Sebelum diperiksa, ada pilihan anak untuk mendapatkan obat bius,” ujarnya.

Sebab, pemeriksaan echocardiography atau pemeriksaan menggunakan gelombang suara untuk mengetahui gerak jantung membutuhkan kondisi yang tenang. Namun, Aida memang kerap menangis bila disentuh orang selain ibunya. Setelah pemeriksaan itulah diketahui, Aida memang mengalami dextrocardia. ”Diketahui juga ada penyempitan di pembuluh jantung menuju ke paru-paru. Tapi, penyempitan ini yang juga menyelamatkan Aida karena membuat paru-paru tidak terbanjiri darah kotor,” jelasnya.

Meski begitu, tetap dibutuhkan tindakan medis berupa operasi agar tumbuh kembang Aida normal. Dokter saat itu memprediksi biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 200 juta. ”Angka yang besar untuk kami. Punya rumah saja belum, kok uang Rp 200 juta,” keluhnya. Beruntung, dextrocardia bisa ditanggung BPJS Kesehatan. ”Kami dapat rujukan ke RS Harapan Kita di Jakarta,” jelasnya.

Sebelum dirujuk ke ibu kota, Aida mendapatkan tindakan kateterisasi untuk memastikan kondisi jantung sebelum operasi. ”Ini harus ditemani karena anak harus dipegangi dengan posisi telentang. Padahal, saat itu suami kerja. Akhirnya, saya minta bantuan bapak,” katanya.

Proses mendapatkan tindakan medis berupa operasi di Jakarta sangatlah rumit. Pasien dengan dextrocardia diharuskan lebih dulu menempuh berbagai tes: darah, THT, hingga rontgen untuk mengambil gambar bagian dada dengan radiasi gelombang elektromagnetik. Padahal, pasien BPJS hanya mendapat satu tindakan dalam sehari. Masalah lain datang begitu hasil tes darah keluar: ternyata trombosit Aida rendah. Belum ideal untuk menjalani operasi. Kondisi itu terjadi karena Aida baru sembuh dari sakit. Dokter pun menyarankan untuk menunggu tiga hari. Sebab, ada obat antibiotik yang sedang bekerja. Nanti trombositnya naik dengan sendirinya.

Dalam sebulan di Jakarta, Rivena harus berkali-kali mengunjungi dokter. Dua kali ke dokter anak, tiga kali ke dokter bedah, dan tiga kali pula ke laboratorium. ”Semangat hampir patah,” ucapnya.

Di masa-masa berat itu, Rivena kerap tidak lagi mampu menahan tangis di rumah sakit. ”Apalagi setelah mendengar bahwa untuk operasi harus mengantre. Bisa jadi, jadwal mundur karena sudah mendekati cuti akhir tahun banyak dokter yang mengajukan cuti,” ungkapnya.

Rivena yang sudah sebulan berada di Jakarta pun hanya bisa ikhlas setelah mendengar penjelasan bagian penjadwalan. ”Anak saya dimasukkan ke jadwal cadangan. Kalau ada operasi yang batal, baru bisa dioperasi,” tuturnya.

Salah satu yang menguatkan Rivena adalah suaminya. Farizal selalu memintanya sabar dan melafalkan basmalah. Bagaimanapun caranya Aida harus dioperasi. Entah bagaimana caranya dan entah dari mana uangnya. ”Itu kata-kata suami yang menguatkan saya,” jelasnya.

Tak berapa lama kembali ke kos yang baru sebulan ditempati, Rivena mendapat kabar dari bagian penjadwalan. Anaknya bisa dioperasi esok hari. Operasi itu berjalan selama 3,5 jam dan sukses. Aida bisa tumbuh normal kendati masih harus menunggu operasi kedua yang bakal dilakukan saat berusia 4 tahun.

Pengalaman Rivena memperjuangkan anaknya yang mengalami dextrocardia itu membuatnya mengorganisasi para orang tua dengan anak yang memiliki kelainan serupa. ”Saya selalu minta para orang tua ikut Komunitas Jantung Kecil,” tuturnya. Sebab, komunitas itulah yang aktif membagikan pengalaman menghadapi dextrocardia. Mulai perawatan hingga apa yang perlu dilakukan orang tua.

Rivena juga mengabadikan perjuangannya mengupayakan kesembuhan Aida dalam bukunya: Huwaida Elmira, Sebuah Catatan Dextrocardia Gadis Berusia 3 Tahun. ”Saya ingin berbagi pengalaman dan semangat dengan para orang tua di luar sana yang memiliki anak seperti Aida,” tandasnya.

Rivena Nidya dan Aida yang kini berusia 4 tahun. (Rivena Nidya untuk Jawa Pos)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!