Menjadi Manusia Silver, Bermodal Rp 46 Ribu, Bisa Raup Rp 200 Ribu

Gang-gang kecil yang padat penduduk di Jakarta Selatan adalah pintu rezeki bagi dua bersaudara, Ahmad Azhar, 23 tahun dan adiknya Taufik Irawan, 8 tahun. Keduanya biasa menjadi manusia silver dan menyusuri gang-gang yang ada di sekitaran Bintaro, Jakarta Selatan, untuk mendapatkan uang dari pemberian orang di rumah-rumah. Penghasilan terbesar yang didapatkan keduanya bisa mencapai Rp 200 ribu.

Takzia Royyan, Jakarta

Berbagai risiko buruk perlu dihadapi para manusia silver. Mulai dari gatal-gatal hingga diciduk Satpol PP atau petugas dari Dinas Sosial. Namun, Boheng mengaku belum bisa melepaskan kesahariannya itu. Sebab, penghasilan yang didapatnya lumayan besar. “Paling kecil Rp 100 ribu. Paling gede Rp 200 rb-an,” jelasnya.

Penghasilan itu bisa didapatkan dengan modal yang dikeluarkan hingga kira-kira Rp 28 ribu per orang. Untuk menjadi manusia silver, Ahmad dan Taufik harus mencampurkan cat sablon berwarna silver itu dengan minyak.

“Satu cat satu orang, minyak seperempat. Dipakaikan minyak itu biar klimis, biar kelihatan bening,” jelas Ahmad sambil mencampurkan bahan, Rabu (20/7).

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, melumuri seluruh badannya mengunakan cat sebelum menjadi manusia silver. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Ukuran satu cat yang dimaksud Ahmad adalah sebesar botol-botol minuman Yakult. Untuk modal membeli cat sablon, ia perlu mengeluarkan uang hingga Rp 20 ribu dari koceknya. Sedangkan untuk minyak seperempat adalah Rp 3 ribu.

Karena Ahmad biasanya menjadi manusia silver berdua dengan Taufik, maka modal yang dikeluarkannya adalah sekitar Rp 46 ribu. “Paling sama buat bilasnya aja. Itu pakai sabun mandi, sampo, sama sunlight,” tambahnya.

JawaPos.com mengikuti keseharian dua bersaudara tersebut keita menjadi manusia silver. Formasi yang paling sering digunakan adalah Taufik di depan dan Ahmad mengikutinya dari belakang. Anak berusia delapan tahun itu yang memegang toples untuk orang memasukkan uang jika ingin memberi.

Tak terlihat sedikit pun keraguan dari langkah kaki bocah itu ketika meminta-minta di rumah-rumah ataupun tempat makan. Ia mengaku teman-temannya sudah tahu mengenai kesehariannya menjadi manusia silver. “Udah tahu mereka, biasa aja,” ujarnya enteng saat ditanya perasaannya menjadi manusia silver.

Hal senada dikatakan kakaknya, Ahmad Azhar. Ia juga mengaku kelurga hingga teman-temannya tahu, tapi ia tak merasa malu. “Nggak malu saya, yang penting halal,” ceritanya.

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, beristirahat usai ngamen menjadi manusia Silver di kawasan Jakarta. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Ahmad atau yang panggilan jalanannya sering dipanggil Boheng selalu tepat berada di belakang Taufik posisinya. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada, seperti kebiasaan orang yang akan sungkem.

“Makasih,” ujar Taufik saat ada orang yang memberinya uang sebesar Rp 5 ribu. Di belakang, Boheng tak berkata apa-apa dan hanya sungkem membungkukkan badannya ke arah pemberi uang.

Formasi itu memang sudah direncanakan sebelumnya. Boheng sebagai orang yang lebih senior dalam pengalaman meminta-minta perlu berada di belakang agar bisa sembari memantau kalau-kalau ada petugas dari dinas sosial atau Satpol PP yang sedang melakukan pembersihan.

Menurut penuturannya, belakangan ini razia sedang gencar dilakukan. Itu kenapa keduanya lebih memilih untuk menepi dan meminta-minta dari gang ke gang.

“Apalagi kalo lingko lewat. Mobil Satpol PP. itu bener bener dari pusat, orangnya gede-gede semua. Orang terpilih. Susah kita kaburnya,” keluh Boheng (20/7)

Ahmad Azhar, 23, bersama adiknya Taufik Irawan, 8, beristirahat usai ngamen menjadi manusia Silver di kawasan Jakarta. Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Biasanya, kalau razia tidak gencar dilakukan keduanya biasa mangkal di perempatan-perempatan seperti lampu merah PVC, lampu merah Organon, dan lampu merah Bintaro Plaza.

Sebetulnya, JakLingko adalah istilah yang dipakai untuk transportasi umum yang sudah terintegrasi di DKI Jakarta. Namun, tampaknya para pengemis seperti Boheng dan teman-temannya menyebut mobil-mobil besar Satpol PP dan Dinas Sosial dengan sebutan yang sama.

Selain menyiasati razia yang sedang gencar terjadi, Boheng dan Taufik biasanya beralih peran menjadi pengamen biasa tanpa menjadi manusia silver.

“Soalnya kalau ngamen, kan, lebih gampang kaburnya. Bisa melebur jadi warga biasa. Tinggal diumpetin gitarnya. Kalau jadi silver, ya, pasti ketahuan,” pungkasnya.

Editor : Bintang Pradewo

Reporter : Tazkia Royyan Hikmatiar


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!