Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Usulan TNI Aktif Dapat Duduki Jabatan Sipil di Kementerian/Lembaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan tegas menolak usulan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk dilakukan revisi pada UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Hal ini disampaikan oleh Julius Ibrani, salah satu anggota koalisi, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).

Julius Ibrani mengatakan, agenda revisi UU TNI harus ditolak karena bertujuan untuk menempatkan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian/lembaga negara.

Bahkan, kata dia, koalisi menilai agenda untuk memperluas penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru.

“Banyak anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” kata Julius Ibrani kepada wartawan, Jumat (12/8).

Dia berharap, pemerintah dalam hal ini jajaran kabinet dan DPR RI bisa sejalan dengan Presiden Joko Widodo yang mengatakan revisi tersebut belum diperlukan.

“Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI untuk menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil, karena itu merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan melemahkan profesionalisme militer,” tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Koodinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, dalam Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat (5/8/2022) mengusulkan bahwa dalam revisi revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang akan dibahas di DPR agar mengatur TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil.

Baca juga: Tokoh NU Ingatkan TNI Jangan Sampai Terlibat Politik Praktis

Menurutnya, undang-undang saat ini membatasi peran tentara di kementerian, seperti jabatan-jabatan di Kemenko Marves tidak bisa diisi oleh tentara.

Usulan tersebut dinilai banyak pihak justru kontradiktif dengan upaya reformasi TNI, sebab melibatkan kembali TNI ke urusan sipil sama saja dengan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru.

Di masa lalu, TNI (dahulu ABRI) tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan, tetapi juga ikut campur dalam urusan sosial-politik.

Alhasil, struktur pemerintahan sipil di pusat maupun di daerah serta di parlemen banyak diisi oleh militer aktif, yang tentu berpotensi mempengaruhi profesionalitasnya dalam menjalan tugas utamanya sebagai alat negara bidang pertahanan.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!