Anggota Komisi XI Minta Pemerintah Perhatikan Efek Simplifikasi Tarif Cukai Rokok ke Pabrikan Kecil

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritisi kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tentang penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok.

Dia menganggap kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Kelobot, dan Tembakau Iris tersebut berpotensi mematikan pabrikan kecil dan menengah.

Misbakhun mengatakan PMK itu menggabungan klasifikasi (layer) sigaret kretek mesin (SKM) golongan IIA dan IIB.

Menurut dia, simplifikasi tersebut memaksa golongan yang dihapus naik klasifikasi dan membayar cukai lebih tinggi.

“Hal itu mengakibatkan adanya beban besar pada golongan IIB yang kecil-kecil, tetapi harus membayar tarif lebih tinggi. Ibarat tinju, petinju kelas ringan dipaksa gulung tikar karena diadu dengan lawan kelas berat,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (23/7/2022).

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu mengaku menerima banyak keluhan dari dari para pengusaha rokok rumahan.

Misbakhun menyebut industri rokok kecil naik golongan bukan karena kemampuan, melainkan lantaran dipaksa.

Baca juga: Naiknya Tarif Cukai Rokok Dinilai Akan Buat Produksi Petani Tembakau Menurun

Sementara industri rokok kecil berkontribusi terhadap penyerapan tembakau dari petani lokal.

Jika banyak industri rokok kecil mati, kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan II Jawa Timur itu, tembakau dari petani lokal tidak akan terserap.

“Jadi, kebijakan simplifikasi itu tidak hanya akan memukul industri rumahan, tetapi juga bakal berdampak pada petani tembakau. Ini yang sepertinya tidak dipertimbangkan dalam PMK itu,” tuturnya.

Politikus yang dikenal getol membela petani tembakau itu menyebut simplifikasi tarif cukai justru berpotensi menyuburkan rokok ilegal.

Misbakhun mencontohkan peredaran rokok ilegal pada 2019 mengalami penurunan signifikan karena pada periode itu tidak ada kenaikan tarif cukai maupun simplifikasi.

Pada tahun itu pula industri rokok tumbuh hingga 7,4 persen, sedangkan rokok ilegal turun dari 7 persen menjadi 3 persen.

“Artinya jelas sekali bahwa pemikiran pemerintah untuk menurunkan perokok dengan menaikan tarif cukai itu tidak benar,” katanya.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!