Bisnis  

2 Ancaman Mengerikan Yang Diprediksi OJK Bakal Datang

redaksiutama.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali bicara terkait ancaman resesi global yang akan terjadi pada 2023 mendatang.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut, terdapat kondisi dilematis yang menjadi tantangan perekonomain dunia.

Menurutnya, ada dua hal yang menjadi tantangan makro ekonomi, yaitu menurunkan inflasi dengan menaikan tingkat suku bunga, dan menurunkan suku bunga dalam menghadapi resesi agar roda perekonomian dapat terus bergerak.

“Tapi tahun depan itu 2 hal itu terjadi sekaligus. Inflasi tinggi. resesi berat. Jadi menaikkan tingkat bunga makin resesi, tak menaikkan tingkat bunga inflasinya naik terus. Ini suatu dilema yang luar biasa,” ujarnya secara virtual, Senin (19/12/2022).

Mahendra memaparkan, perekonomian global terlalu lama dibanjiri oleh aliran dana dalam jumlah besar dan biaya yang sangat murah. “Untuk menghadapi kelesuan pandemi, bahkan yang sebelumnya melemahkan ekonomi di negara maju, akibatnya jumlah dana yang begitu besar dan murah menyebabkan inflasi,” katanya

Apalagi, geopolitik ikut menambah beban yang menyebabkan persoalan dalam rantai pasok dan logistik. Hingga pada gilirannya suatu negara akan membatasi pasokan sehingga memicu inflasi yang terjadi di negara-negara maju.

“Bahkan untuk Eropa sampai 2 digit diatas 10%. Di Eropa sendiri terakhir mereka mengalami 2 digit awal 1980 an. Jadi mereka kembali masuk ke tingkat inflasi 11-12% setelah 45 tahun tak pernah,” imbuhnya.

Mahendra memaparkan lebih jauh, beberapa negara Eropa saat ini, termasuk Inggris, Perancis, Belgia, dan Italia sudah masuk ke jurang resesi. Sebab, di negara tersebut bukan hanya mengalami masalah ekonomi saja melainkan persoalan geopolitik global.

“Padahal inflasinya belum turun juga. Inflasi di Inggris kemarin masih hampir 10%, Amerika yang tak separah Eropa sudah sebisa turun tapi masih di 7% lagi-lagi tertinggi selama 50 tahun,” ungkapnya.

Mahendra mengungkapkan, sebenarnya instrumen yang ada pada bank sentral, termasuk Bank Indonesia (BI) bukan untuk mengatasi tantangan tersebut. Sebab, tugas utama bank sentral hanya menghadapi inflasi, bukan menanggulangi kelesuan ekonomi.

“Bukan disitu bank sentral seluruh dunia. Tapi di penanggulangan stabilitas harga. Tapi kalau harga sudah demikianlah tinggi dan ekonomi dibawah ini dilema yang tak mungkin hanya bank sentral yang mengatasi,” sebutnya.

Perlu intervensi dari pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga, bank sentral dapat ikut menjaga dan mengendalikan inflasi. Selama ini, telah terjadi kevakuman dalam kebijakan negara-negara maju, baik Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang, maupun Korea.

“Mereka selalu menggunakan instrumen moneter dan pengendali inflasi. Tapi instrumen untuk menstimulir ekonomi riil itu tidak ada,” pungkasnya.

error: Content is protected !!