Survei yang dirilis Bloomberg pada pertengahan pekan lalu itu menyebutkan Indonesia merupakan salah satu diantara negara Asia yang dianggap memiliki probabilitas sangat kecil untuk mengalami resesi. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa probabilitas resesi di banyak negara Asia mengalami peningkatan, meski masih lebih kecil dibanding Amerika Serikat dan Eropa (rata-rata probabilitas 40-55%).
Survei yang dirilis Bloomberg menyebutkan Indonesia merupakan salah satu diantara negara Asia yang dianggap memiliki probabilitas sangat kecil untuk mengalami resesi. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa probabilitas resesi di banyak negara Asia mengalami peningkatan, meski masih lebih kecil dibanding Amerika Serikat dan Eropa (rata-rata probabilitas 40-55%).
Probabilitas rata-rata negara Asia Pasifik terseret ke resesi berada pada rentang 20-25%. Peningkatan risiko global seperti tekanan inflasi yang tinggi dan persisten serta pengetatan kebijakan moneter yang cepat dan tajam merupakan faktor utama yang turut mendorong peningkatan potensi resesi berbagai negara di dunia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan survei Bloomberg tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara dengan fundamental ekonomi yang sangat resilien di tengah risiko global yang masih eskalatif. “Pemerintah akan terus memitigasi berbagai risiko yang ada dan memastikan perkembangan positif ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat akan terus terjaga dan semakin baik,” ujar Febrio di Jakarta, Jumat (15/7/2022).
Probabilitas resesi untuk Indonesia pada survei Bloomberg sangat kecil, hanya 3%. Tingkat probabilitas resesi Indonesia lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Filipina (8%), Thailand (10%), Vietnam (10%), dan Malaysia (13%). Indonesia juga jauh lebih resilien dibanding negara-negara sejawat di kawasan Asia pasifik dengan probabilitas resesi tertinggi yakni Sri Lanka (85%), Selandia Baru (33%), Korea Selatan (25%), Jepang (25%), dan Tiongkok (20%).
Survei ini kembali menggarisbawahi kuatnya daya tahan ekonomi Indonesia di tengah gejolak global. Berbagai indikator ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa momentum pemulihan ekonomi terus menunjukkan penguatan dan masih terjaganya stabilitas domestik. Sejak tahun 2021, Indonesia sudah berhasil mengembalikan level output ekonomi ke tingkat sebelum pandemi, dan terus menguat di tahun 2022. Pada kuartal pertama 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,0% (year on year/yoy) dengan tingkat output yang mencapai 3% di atas pra pandemi.
Di sisi lain masih banyak negara yang belum mampu mencapai level tersebut, seperti Jerman (- 0,9%), Italia (-0,9%), Jepang (-3,3%), Meksiko (-4,3%), Rusia (-6,8%), dan Filipina (-4,7%). Tingkat inflasi yang moderat dan keseimbangan eksternal ekonomi yang sehat juga menjadi penopang kekuatan ekonomi Indonesia di tengah meningkatnya tantangan ekonomi global.
Tingkat Inflasi Indonesia pada Juni 2022 adalah sebesar 4,4% (yoy), salah satu yang paling moderat diantara negara G20 dan ASEAN-6. Selain itu, sektor eksternal Indonesia juga kuat sebagaimana tercermin pada Transaksi Berjalan Indonesia pada Januari-Maret 2022 yang mampu mencatatkan surplus 0,07% terhadap PDB, antara lain didukung oleh surplus neraca perdagangan dalam 26 bulan berturut-turut.
Selain stabilitas harga dan positifnya sektor eksternal, tekanan di sektor keuangan Indonesia juga relatif moderat dibanding banyak negara lain. Indeks harga saham gabungan (IHSG) masih mencatat pertumbuhan sebesar 1,65% sejak awal tahun hingga 14 Juli 2022, di saat indeks saham banyak negara tumbuh negatif.
Kenaikan imbal hasil surat berharga Indonesia dan depresiasi rupiah juga relatif moderat dibandingkan negara lain sehingga menambah positif kinerja sektor keuangan Indonesia. Pengelolaan kebijakan fiskal yang pruden dan terus menguat menjadi jangkar bagi stabilitas ekonomi nasional. Realisasi sementara pendapatan negara untuk semester pertama 2022 tumbuh kuat mencapai 48,5% (yoy) yang mencerminkan penguatan pemulihan ekonomi, kenaikan harga komoditas, serta dampak positif dari reformasi perpajakan.
Di sisi belanja, pemerintah terus mendorong peningkatan kualitas dan efektivitas belanja termasuk memperkuat program-program yang esensial memberi perlindungan pada masyarakat di tengah gejolak global seperti subsidi dan perlindungan sosial. “Kinerja fiskal kita memiliki peran krusial dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi berbagai tantangan global yang multidimensional. Pemulihan ekonomi dan konsolidasi fiskal ke depan diharapkan terus mempertahankan kinerja yang baik dan menopang resiliensi ekonomi ini,” tutur Febrio.
Pemerintah terus menjaga komitmen dalam melaksanakan konsolidasi fiskal. Hal ini dibuktikan melalui upaya Pemerintah menurunkan defisit APBN menjadi di bawah 3% terhadap PDB dan rasio utang menjadi berada di kisaran 40,58% – 42,35% terhadap PDB pada tahun 2023, level yang relatif moderat dibandingkan banyak negara lain di G-20 maupun ASEAN.
Swa.co.id
Artikel ini bersumber dari swa.co.id.