redaksiutama.com – Keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa atau dikenal Brexit memberikan dampak besar pada perekonomian Inggris. Brexit justru membuat ekonomi Inggris tertatih-tatih, dan menjadi salah satu anggota G7 yang kondisi ekonominya lebih kecil dari sebelum pandemi.
Dikutip dari CNN, Selasa (27/12/2022), ketidakpastian hubungan perdagangan dengan Uni Eropa memberikan pukulan yang besar pada investasi dan bisnis, di mana pada kuartal III berada 8% di bawah tingkat pra pandemi. Meski, kesepakatan perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa telah berlangsung selama dua tahun.
Mata uang Inggris pound sterling terpukul, biaya impor menjadi lebih mahal dan memicu inflasi. Pound sterling anjlok 19% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak Inggris meninggalkan Uni Eropa dalam referendum 23 Juni 2016.
Brexit telah menjadi hambatan untuk bisnis Inggris dan perusahaan asing yang menggunakan Inggris sebagai basis Eropa. Hal ini membebani ekspor impor, menguras devisa dan berkontribusi pada kekurangan tenaga kerja. Semua hal tersebut memperburuk masalah inflasi Inggris yang merugikan pekerja dan komunitas bisnis.
“Alasan yang paling masuk akal mengapa Inggris melakukan hal yang relatif lebih buruk daripada negara-negara yang sebanding adalah Brexit,” menurut L Alan Winters, co-director Centre for Inclusive Trade Policy di University Sussex.
Suramnya ekonomi Inggris terlihat dari para pekerja yang mogok karena inflasi terburuk menggerogoti gaji mereka. Pada saat yang sama, pemerintah memangkas belanja dan menaikkan pajak untuk mengisi kekosongan anggaran.
Meskipun Brexit bukanlah penyebab krisis biaya hidup di Inggris, hal itu membuat masalah semakin sulit untuk dipecahkan.
“Inggris memilih Brexit dalam referendum, tetapi pemerintah kemudian memilih bentuk Brexit yang sangat keras, yang memaksimalkan biaya ekonomi,” kata Michael Saunders, penasihat senior di Oxford Economics dan mantan pejabat Bank of England.
“Setiap harapan untuk peningkatan ekonomi dari Brexit hampir hilang,” tambahnya.