Perempuan-perempuan Cho Nam Joo

redaksiutama.com – Nam Joo, penulis dari negeri para Oppa tahun 2018 lalu menulis novel yang ia beri judul Her Name Is . Baru pada 2021, penerbit Bhuana Ilmu Populer mengalihbahasakan ke Bahasa Indonesia.

Novel ini menyajikan pelbagai cerita tentang perempuan dan sekelumit kisah hidupnya.
Ia mengakui pada bagian prakata bahwa novel ini terinspirasi dari cerita 60 orang perempuan yang berusia mulai dari 9 tahun hingga nenek-nenek berumur 69 tahun.

Musim semi 2018, begitu ia menorehkan awal penulisan. Penulis membagi bukunya ke dalam empat bab. Masing-masing bab ia hadirkan 7 sampai 8 cerita.

Saat membaca dua bab awal, hati ini terus berkata-kata. Jika para perempuan membaca kisah ini, tentu mereka sedikit banyak akan terpengaruh seperti apa Cho Nam Joo me-migur-i para tokoh.

Memang, tidak dapat dipungkiri kisah-kisah yang dinarasikan Cho Nam Joo merupakan cerita yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Bagi sebagian orang mungkin cerita ini hanyalah sekadar pengisi waktu luang. Berbeda halnya jika cerita ini sampai ke tangan mereka yang sedang mengalami kejadian serupa dan sedang mengupayakan jalan keluarnya.

Sulit bagi perempuan pembaca untuk tidak menyetujui perkataan-perkataan tokoh terkait cara pandang mereka dan keputusan yang mereka ambil saat dihadapkan pada permasalahan di dalam kehidupan.

Berkaca dari berita yang dilansir kanal databoks, 26 Februari 2022 lalu, tren pernikahan di Indonesia kian menurun dalam 10 tahun terakhir.

Statistik melaporkan ada 1,74 juta pernikahan selama 2021. Jumlah ini menurun sebesar 2,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,79 juta pernikahan.

Jika ditilik mundur, jumlah pernikahan di Indonesia mencapai puncaknya tahun 2011, yaitu 2,31 juta pernikahan. Setelahnya, jumlah itu terus merosot mencapai titik terendah pada 2021.

Apa yang akan terjadi jika mereka, terkhusus kaum hawa, membaca kisah hidup perempuan-perempuan Cho Nam Joo ini?

Benar, sastra merupakan cerminan kehidupan (Teori Mimesis Sastra, Plato). Meskipun berangkat dari fakta di kehidupan nyata, proses kreatif penulis tidak dapat dikesampingkan.

Adakalanya penulis sengaja menghadirkan cerita tersebut apa adanya, namun tidak sedikit yang menambahkan bumbu-bumbu ekspresi dalam dirinya ke dalam karya.

Dari mana kita tahu keberpihakan si penulis terhadap ide yang ia telurkan?

Satu di antaranya ialah melalui sikap penulis terhadap akhir hidup tokoh. Ada tokoh yang sengaja dibiarkan hidup dengan pilihan idealismenya, ada juga tokoh yang dimatikan oleh penulis di akhir cerita dalam upaya memutus rantai idealisme tersebut.

Permasalahan tidak terhenti di sini. Pembaca sebagai sosok penikmat karya tidak semuanya memiliki daya analisis yang sama dengan pembaca sastra.

Mereka yang sedang gamang dan membaca kisah ini, berpeluang mengamini perkataan dan perbuatan tokoh. Lebih-lebih di akhir cerita tokoh digambarkan bahagia dengan keputusan yang dia ambil.

Bagaimana dengan perempuan-perempuan Cho Nam Joo?

Pertama, Kim Eunsoon. Perempuan ini digambarkan sebagai pekerja staf restoran berusia 29 tahun. Pekerjaan itu ia lakoni sambil menyelesaikan studinya di universitas. Ia terlambat masuk universitas karena terbiasa bekerja semenjak duduk di SMK.

Tampak bukan? Frame seperti ini sangat dekat dengan keumuman perempuan kekinian di belahan negara mana pun. Bekerja sambil kuliah hingga melupakan usia yang terus beranjak.

Eunsoon dan perempuan-perempuan di luar sana, memiliki pekerjaan, berpendidikan, namun di usia menjelang kepala tiga masih belum kepikiran untuk berumah tangga.

Jangan dibilang mereka tidak memiliki kekasih hati. Ia hanya tidak ingin terburu-buru menikah.

Penulis melalui Eunsoon menyampaikan idenya bahwa Eunsoon bukanlah jenis perempuan yang menikah hanya karena desakan usia dan sistem sosial. Eunsoon tidak antipernikahan, ia hanya tidak ingin terburu-buru.

Bagaimana dengan gadis-gadis Indonesia lajang di luar sana? Sanggupkah menjadi Eunsoon?

Kedua, pengantin perempuan. Tidak ada nama yang diberikan oleh penulis. Ia baru saja menikah dengan laki-laki yang ia pikir bisa membahagiakannya sebagai tulang rusuk.

Permasalahan dimulai saat ia pulang bulan madu. Ibu mertua mencampuri urusan rumah tangga putranya. Sepertinya sang ibu belum mengikhlaskan anaknya berumah tangga.

Suami yang ia cintai tidak membelanya sedikitpun. Akhirnya, si pengantin perempuan mengakhiri pernikahan.

Baginya, kebahagiaan pernikahan ialah bebas menjadi diri sendiri tanpa embel-embel sebagai istri dan menantu. Yang berubah hanyalah status hubungan. Pernikahan tidaklah upaya memenjarakan kebebasan dan kebahagiaan diri sendiri.

Ya, mertua seperti itu tidak sedikit di Indonesia. Bahkan sinetron ikan terbang menjadikannya ide yang tiada putus-putusnya.

Mertua yang begitu mencintai putranya. Baginya, sedewasa apa pun putranya, tetaplah sosok kanak-kanak di matanya.

Siapkah Anda bercerai bila dihadiahi Tuhan mertua yang seperti itu sepaket dengan putranya, duhai kaum hawa?

Kembali ke ide awal tulisan ini. Jika karya ini dibaca perempuan pembaca yang sedang berkasus sama dengan perempuan-perempuan Cho Nam Joo, apa yang akan terjadi? Apakah tren pernikahan semakin merosot?

Cerdiknya penulis, ia tidak menguraikan lebih lanjut seperti apa kehidupan tokoh-tokoh perempuannya setelah memilih jalan hidup: tidak buru-buru menikah dan mengakhiri pernikahan.

Seperti yang ia sampaikan di bagian prakata, ini semua cerita bermakna. Ia hanya bertugas mengungkap dan menuliskan. Semua diserahkan kepada pembaca.

error: Content is protected !!