redaksiutama.com – Pada saat inflasi tinggi, pembuat kebijakan fiskal harus menargetkan kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh lonjakan harga pangan dan energi, sembari menjaga karakter fiskal yang ketat guna membantu melawan inflasi, demikian disampaikan seorang pejabat Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
“Melawan inflasi pada saat ini harus dengan sikap yang tenang dan dalam pandangan kami, merupakan sesuatu yang harus jadi prioritas utama makroekonomi,” ujar Vitor Gaspar, Direktur Departemen Urusan Fiskal IMF, kepada Xinhua dalam sebuah wawancara pada pekan ini.
“Jadi, apa yang bisa dan harus dilakukan dalam kebijakan fiskal, berdasarkan pengalaman dari pandemi (COVID-19) di mana kebijakan fiskal mampu merespons secara cekatan dan fleksibel, adalah kebijakan fiskal itu harus menargetkan mereka yang paling terdampak oleh krisis biaya hidup,” kata Gaspar.
Menurut dia, krisis biaya hidup tidak hanya berkaitan dengan “inflasi yang meluas”, tetapi juga memiliki “dimensi yang sangat kuat yang berkaitan dengan lonjakan harga pangan dan energi.”
“Apa yang bisa dilakukan melalui kebijakan fiskal yang tidak dapat dilakukan oleh kebijakan moneter adalah menargetkan pihak yang rentan, dan (kebijakan fiskal) dapat melakukannya dengan cara yang sesuai dengan menjaga bauran kebijakan makroekonomi yang tepat,” ujarnya.
Dalam laporan Pemantau Fiskal baru yang dirilis pada Rabu (12/10), IMF berpendapat bahwa para pembuat kebijakan harus melindungi keluarga berpenghasilan rendah dari kerugian pendapatan riil yang besar serta memastikan akses mereka pada makanan dan energi. Mereka juga harus mengurangi kerentanan dari utang publik yang besar dan dalam menanggapi inflasi yang tinggi, mempertahankan karakter fiskal yang ketat sehingga tujuan dari kebijakan fiskal tidak bertentangan dengan kebijakan moneter.
Harga yang lebih tinggi mengancam standar hidup masyarakat di mana pun, sehingga hal tersebut akan mendorong pemerintah untuk meluncurkan berbagai langkah fiskal, termasuk subsidi harga, pemotongan pajak, dan bantuan langsung tunai.
“Membatasi kenaikan harga melalui pengendalian harga, subsidi, atau pemotongan pajak akan ‘sangat mahal’ bagi anggaran dan ‘pada akhirnya tidak efektif’,” papar laporan itu.
“Salah satu contoh yang dapat dipertimbangkan adalah membayangkan bahwa Anda memperkenalkan batasan harga domestik atau mekanisme perataan harga, tetapi guncangannya terbukti sangat kuat. Pada akhirnya, Anda harus menghapus batasan harga itu dan membiarkan harga menyesuaikan,” kata Gaspar.
“Dan meskipun batasan harga mungkin menekan inflasi untuk sementara waktu, (batasan harga) itu kemudian meningkatkan persistensi inflasi ketika akhirnya Anda harus membiarkan harganya naik,” kata Gaspar.
“Bauran kebijakan makroekonomi yang konsisten antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal ini sangat tepat mengingat situasi yang kita hadapi,” ujar Gaspar.
“(Langkah) itu bukannya tidak efektif, tetapi pada akhirnya akan tidak efektif. Jadi, (langkah) itu tidak bekerja untuk jangka waktu yang lama,” ujar Gaspar kepada Xinhua.
Pemantau Fiskal tersebut mencatat bahwa pada saat inflasi tinggi, kebijakan untuk mengatasi harga pangan dan energi yang melambung seharusnya tidak menambah permintaan agregat, sembari mencatat bahwa tekanan permintaan memaksa bank-bank sentral menaikkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi hingga membuat pembayaran utang pemerintah semakin mahal.
Menurut data IMF, utang publik global diproyeksikan akan tetap tinggi pada angka 91 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2022, setelah menyusut dari rekor tertinggi di tahun 2020, dan tetap sekitar 7,5 poin persentase lebih tinggi dibandingkan dengan saat tingkat prapandemi,
Negara-negara berpenghasilan rendah sangat rentan, dengan hampir 60 persen ekonomi termiskin berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi mengalaminya, sebut organisasi multilateral itu.
“Untuk negara-negara berpenghasilan rendah, khususnya di bidang pangan, tetapi secara lebih luas, mereka menghadapi pertukaran (kebijakan) yang sangat mendesak dan menyengsarakan,” ujar Gaspar, seraya mencatat bahwa masyarakat internasional harus mengambil tindakan kolektif guna mendukung negara-negara yang lebih miskin.
Akan tetapi, pejabat IMF itu melanjutkan, risiko utang tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan rendah saja. “Ada cukup banyak emerging economy yang memiliki imbal hasil obligasi yang tersebar di kawasan yang juga dianggap sebagai sinyal kesulitan utang atau risiko tinggi kesulitan utang,” ujarnya seraya menekankan bahwa hal itu juga sesuatu yang harus menjadi perhatian masyarakat internasional.
Gaspar mencatat pada 2022, banyak bank sentral mulai melakukan pengetatan karena inflasi tetap tinggi. Kebijakan fiskal juga diperketat saat pembuat kebijakan menarik langkah-langkah dukungan fiskal yang diluncurkan akibat pandemi.
Langkah itu juga membantu kredibilitas proses disinflasi dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan proses disinflasi tersebut, tambahnya.
Berbeda dari kebanyakan negara lain, pejabat IMF itu mencatat China sedikit melonggar baik di sisi fiskal maupun moneter dengan pertumbuhan yang melambat dan inflasi yang menurun,
“Pandangan kami adalah bahwa hal itu pantas mengingat tantangan yang dihadapi China dalam jangka pendek,” ujar Gaspar. “Dan kami percaya bahwa China memiliki ruang kebijakan untuk melakukannya.”
Koreksi harga yang sedang berlangsung di sektor real estat juga sangat penting, kata Gaspar seraya mencatat bahwa kondisi itu harus dikelola dari sudut pandang stabilitas keuangan yang relevan untuk keuangan publik, mengingat adanya ketergantungan pemerintah daerah pada penjualan tanah.
“Tantangan paling mendesak bagi China adalah transisi ke sebuah model pertumbuhan dan pembangunan alternatif yang tidak akan terlalu bergantung pada negara-negara lain di dunia, melainkan lebih bergantung pada potensi dalam negeri.” katanya.