redaksiutama.com – Harga minyak jatuh sekitar dua persen pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), memperpanjang penurunan sesi sebelumnya, karena kekhawatiran permintaan naik setelah Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan perlambatan pertumbuhan global.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November merosot 1,78 dolar AS atau 2,0 persen, menjadi menetap di 89,35 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah tergelincir 1,6 persen di sesi sebelumnya.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember kehilangan 1,9 dolar AS atau 2,0 persen, menjadi ditutup di 94,29 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, menyusul kejatuhan 1,8 persen sehari sebelumnya.
Presiden Bank Dunia David Malpass dan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva memperingatkan pada Senin (10/10/2022), tentang meningkatnya risiko resesi global dan mengatakan inflasi tetap menjadi masalah yang berkelanjutan.
IMF pada Selasa (11/10/2022) memproyeksikan ekonomi global tumbuh sebesar 3,2 persen tahun ini dan 2,7 persen pada 2023, dengan revisi turun 0,2 persen poin untuk 2023 dari perkiraan Juli, menurut laporan World Economic Outlook terbaru.
Ekonomi global sedang mengalami “sejumlah tantangan yang bergejolak,” karena inflasi yang lebih tinggi dari yang terlihat dalam beberapa dekade, kondisi keuangan yang semakin ketat di sebagian besar wilayah, konflik Rusia-Ukraina, dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, semuanya sangat membebani prospek, kata laporan.
“Ada pesimisme yang tumbuh di pasar sekarang,” kata Craig Erlam dari broker OANDA seperti dikutip oleh Reuters.
Minyak melonjak awal tahun ini, membawa Brent mendekati rekor tertinggi 147 dolar AS per barel karena invasi Rusia ke Ukraina menambah kekhawatiran pasokan, tetapi harga telah turun karena kekhawatiran ekonomi.
Kekhawatiran pukulan lebih lanjut terhadap permintaan di China juga menekan harga minyak. Pihak berwenang telah meningkatkan pengujian virus corona di Shanghai dan kota-kota besar lainnya ketika infeksi COVID-19 meningkat lagi.
Minyak juga berada di bawah tekanan dari dolar yang kuat, yang mencapai tertinggi multi-tahun di tengah kekhawatiran tentang kenaikan suku bunga dan eskalasi perang Ukraina.
Namun, kerugian dibatasi oleh pasar yang ketat dan keputusan minggu lalu oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, bersama-sama dikenal sebagai OPEC+, untuk menurunkan target produksi mereka sebesar 2 juta barel per hari.