Kemenperin Nilai PP 109/2012 Masih Relevan dengan Kondisi IHT Sekarang

Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masih relevan dengan kondisi industri saat ini.
 
“PP 109 ini sudah cukup baik dan masih relevan, karena penetapannya telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan disepakati pada waktu itu,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 31 Juli 2022.
 
Beleid tersebut telah mengatur berbagai aspek, termasuk industri hasil tembakau yang berkaitan dengan operasinya. Menurut Edy, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi penerapannya secara menyeluruh, mengingat selama ini hal tersebut belum dilakukan.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Salah satu evaluasi yang direkomendasikan Kemenperin adalah perlunya meningkatkan edukasi terhadap anak-anak guna menurunkan prevalensi perokok anak. “Menurut kami, untuk menurunkan prevalensi perokok anak, utamanya adalah edukasi, baik kepada masyarakat luas, melalui pendidikan formal, non formal, hingga keagamaan,” jelasnya.
 
Kemudian, lanjut Edy, terkait perlindungan bagi masyarakat yang tidak merokok, perlu ditingkatkan fasilitas untuk perokok, bahkan di kawasan tanpa rokok.
 
Edy menilai wacana merevisi PP 109/2012 saat ini belum perlu dilakukan, karena industri hasil tembakau baru mulai pulih dari dampak pandemi covid-19. “Industri rokok sebenarnya masih suffer. Kalau kita lihat pada masa pandemi, pada 2020 terjadi kontraksi hingga minus 5,78 persen. Pada 2021 meskipun sudah mulai membaik, tapi tetap masih pada posisi kontraksi, yaitu minus 1,36 persen,” papar dia.
 
Terlebih, situasi global yang belum menentu menyebabkan kenaikan bahan baku, bahan penolong, hingga biaya logistik. Tak tertinggal dampak perang Rusia-Ukraina yang meluas dan memengaruhi pasar di Amerika hingga Eropa, dimana kedua kawasan tersebut terancam resesi.
 
Di situasi yang sulit ini, lanjut Edy, Indonesia perlu berhati-hati. Karena industri hasil tembakau di Indonesia menyumbang sekitar lebih dari Rp200 triliun penerimaan negara pajak dan bukan pajak. “Artinya, industri ini salah satu tulang punggung. Menurut kami kita perlu sama-sama berhati-hati,” tegas Edy.
 
Sementara itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai revisi PP 209/2012 bukan hanya bisa menghanguskan pertanian tembakau, tetapi juga sektor religi dan budaya. Pasalnya, rata-rata di daerah pertembakauan untuk membangun tempat ibadah (masjid) serta merawat budaya seni masih mengandalkan iuran panen tembakau.
 
Ketua Umum APTI Agus Parmuji mengatakan, budidaya ekonomi pertembakauan merupakan pertanian yang sangat efektif sebagai pondasi ekonomi desa. Tak hanya itu, budidaya pertembakauan banyak menyerap ketenagakerjaan mulai dari awal tanam hingga masa panen. Tercatat ada sekitar 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dari sektor budidaya pertembakauan mulai dari petani, buruh tani, kuli angkot dan sektor transportasi.
 

 
“Pertembakauan nasional masih mengandung nilai-nilai kebudayaan bukan hanya sekadar bertani tetapi mengandung ritualisasi, pada waktu tanam, panen atau setiap mulai proses selalu ada unsur ritual selametan. Sehingga ini bukan hanya sekedar bertani tetapi sebuah pengharapan masa depan,” kata Agus.
 
Dijelaskan Agus, sampai saat ini petani belum dilibatkan dalam revisi PP 109/2022. “Melihat proses dorongan revisi ini hanya mengakomodir kepentingan kesehatan, padahal kalau proses ini mau benar, maka semua harus dilibatkan. Dan saya melihat ada paksaan agar semua mengamini proses revisi PP 109/2022,” urai Agus.
 
Dikatakannya, ada beberapa poin yang akan direvisi pada PP 109/2022, termasuk pengetatan iklan, gambar diperbesar, dan lainnya. Akan tetapi, lanjutnya, lima poin revisi tersebut merupakan pembatasan/pengendalian produk jadi tembakau.
 
“Ketika revisinya lebih dipertajam maka akan terjadi kehancuran atau kiamat ekonomi massal. Kenaikan cukai setiap tahun juga akan berdampak pada penyerapan bahan baku yang sangat negatif,” katanya.
 
Menurutnya, PP 109/2012 sebagian besar konstruksi pasalnya mengadopsi atau berkiblat pada FCTC. Sehingga, kata Agus, tidak perlu diratifikasi dan mengaksesi aturan dunia tersebut karena pasal-pasalnya sebagian besar sudah di adopsi di PP 109/2012.
 
“Petani tembakau dan turunannya akan lebih hancur ketik revisi PP 109/2012 terlalu dipaksakan,” tegas Agus.
 
APTI memandang pemerintah kurang serius untuk melindungi semua elemen masyarakat termasuk keberlanjutan dan kelestarian pertembakauan. “Kami ketakutan ketika hak hidup, hak ekonomi dan hak melestarikan keanekaragaman pertanian tembakau yang selama ini kami rawat akan dicolong oleh kebijakan-kebijakan yang akan mematikan hak-hak kami,” pungkas Agus.

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!