SURYA.CO.ID, SURABAYA – Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menghelat Webinar Nasional bertajuk ‘Stop! Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Perempuan dan Kaum Rentan’, Sabtu, (23/72022). Penyelenggaraan webinar ini sehubungan dengan peringatan Hari Anak Nasional 2022.
Ketua PSGA UINSA Surabaya sekaligus ketua panitia acara tersebut, Lilik Huriyah mengungkapkan, bahwa inisiatif webinar ini berangkat dari keprihatian soal tren kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini justru marak terjadi di lembaga pendidikan bahkan yang notabene berbasis keagamaan.
Sebagai bentuk keprihatan sekaligus tanggung jawab moral, helatan webinar itu utamanya diperuntukkan bagi siswa, santri, dan pengelola lembaga pendidikan guna memberikan literasi tindak kekerasan seksual seperti dimanahkan dalam UU 12 Tahun 2022.
Hadir sebagai narasumber, Siti Aminah Tardi, selaku Komisioner Komnas Perempuan RI. Dalam paparannya, Tardi menyebut pengungkapan tindak kekerasan seksual di Indonesia masih jauh dari kata ideal.
Tantangan yang kerapkali ditemui di tengah masyarakat dalam upaya pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual adalah sikap para korban yang cenderung memilih bungkam.
“Sepintas lalu pilihan korban untuk memilih bungkam tampak masuk akal. Sebab masyarakat kita belum sepenuhnya dewasa. Dalam sebuah upaya pengungkapan kekerasan seksual korban dibayang-bayangi stigma negatif,” katanya.
Akhirnya kondisi tersebut menambah kusut catatan kekerasan seksual di Indonesia terutama yang menempatkan anak-anak sebagai korban.
Dalam kasus kekerasan seksual terutama anak-anak ditempatkan sebagai subaltern, pihak yang kalah total. Anak perempuan dalam tindak kekesan seksual berada dalam hierarki paling dasar. Opresi ganda (double-oppression) bagi anak-anak korban seksual bukan hanya datang dari masyarakat, namun juga terkadang dari pihak keluarga.
Jamak orang tua karena awam justru berpikir jika anak-anak mereka akan memiliki masa depan yang suram padahal anak-anak itu juga berhak memiliki masa depan mereka. Anggapan demikian, ungkap Tardi, adalah sikap yang sepenuhnya keliru. Sebab trauma anak akan terus membayangi anakhingga kelak mereka dewasa.
Permasalahan laten dalam kekerasan seksual di Indonesia, seperti digarisbawahi oleh Tardi, kini telah diakomodir melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Sejatinya terdapat enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, antara lain: (1) tindak pidana, (2) sangsi (pidana dan tindakan), (3) hukum acara TPKS, (4) hak korban, (5) pencegahan, dan (6) pemantauan. Kenam elemen tersebut sejalan dengan asas UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS, yakni penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,” bebernya.
Peserta webinar dari Sulawesi Utara, Meti Lastari dari Prodi PIAUD IAIN Kendari menyatakan dia antusias mengikuti helatan webinar dan merasa tercerahkan setelah mendengarkan paparan narasumber tentang UU TPKS. Dia bercerita bahwa di lembaga tempat dia mengabdi inisiatif untuk memberikan literasi seksual sejak usia dini telah coba dilakukan.
“Namun hal tersebut tidak mudah ternyata, mengingat banyak wali siswa yang kurang memahami konteks pembelajaran seksual usia dini,” kata Meti Lastari.
Lastari lantas bertanya bagaimana sikap yang perlu ditunjukkan untuk memberikan pemahaman bagi wali siswa mengingat latar sosiologis yang tentu tidak sama pada setiap daerah.
Webinar ini diselenggarakan oleh PSGA UINSA Surabaya bekerja sama dengan Komnas Perempuan RI, Kanwil Kemenag Jawa Timur Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Kepala Bidang Pembinaan SMK, Pesantren di Jawa Timur, SMA/SMK di Jawa timur, PSGA UNESA, UIN walisongo Semarang, IAIN Manado, serta Ketua, sekretaris, dosen, mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Pendidikan Anak Usia Dini di UINSA, Unesa, UIN Semarang, IAIN Manado.
Artikel ini bersumber dari surabaya.tribunnews.com.